Setelah sekian lama, bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan, masih saja masyarakat Indonesia mengalami feodalisme, atau kalau dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan. Feodalisme ini bisa timbul karena masyarakat Indonesia biasa terjajah dalam berbagai hal, dan dikondisikan untuk selalu terjajah. Misalnya untuk memilih wakilnya, kebanyakan masyarakat tidak mempunyai bekal pengetahuan tentang kapasitas caleg. Ia dipaksa (baca dijajah) oleh "sistem pemilihan umum" untuk menyonteng salah satu wakilnya, tetapi penguasa tidak mau tahu, apakah rakyat tahu atau tidak tentang siapa calon-calon wakilnya itu. Kita semua nanti akan mengalami nasib sama, yakni memilih kucing dalam karung. Kalau ibarat kita mau memilih makanan di warung, seharusnya kita mempunyai pengetahuan apakah makanan itu beracun atau tidak.
Masyarakat juga masih tetap diajari oleh otoritas kekuasaan (tokoh masyarakat, pejabat, kiai, cendikiawan, intelektual, dll) untuk memuja priyayi, pejabat; untuk ndingkluk, sendiko dawuh, atau dalam bahasa Ahmad Rifa'inya, seba (memberi hormat kepada "priyayi" dengan membungkukkan badan hingga mendekati posisi sujud) terhadap orang-orang yang mempunyai jabatan. Seba disini tidak mesti diartikan secara fisik membungkuk, tetapi juga bisa diperluas artinya: secara budaya, mental, karakter yang cenderung membungkung. Seba dalam psikologi masyarakat bisa berarti bangga karena hanya berjalan, atau bersalaman, bersama dengan pejabat, apalagi dikenal oleh pejabat. Masyarakat "bungah" bukan kepalang kalau salah seorang menteri menyambangi kampungnya. Hal-hal semacam itu menjadi bumbu penyedap proses pengkultusan yang diamini oleh masyarakat luas.
Masyarakat tidak pernah diberitahu, apalagi dididik tentang kebenaran berfikir bagaimana melihat relasi antara pejabat (dalam konteks ini adalah Menteri) dengan rakyat. Kalau dikiaskan dengan hubungan antara bos dan karyawan, kira-kira siapa yang bos dan siapa yang karyawan. Kalau kedatangan mentri dianggap sebagai kedatangan Bos oleh karyawan yang bernama rakyat, maka cara berfikir semacam itu salah. Kita dapat menanyakan dengan mudah. Kira-kira siapa yang digaji dan siapa yang menggaji. Tentunya yang menerima gaji adalah menteri, dan gajinya berasal dari pajak rakyat, atau hasil bumi Indonesia yang niscaya kepunyaan rakyat Indonesia. Jadi, yang diposisikan sebagai bos adalah rakyat yang telah menggajinya. Maka apabila ada bantuan dari pemerintah, sebenarnya bukan dinamakan bantuan, melainkan hal itu merupakan hak masyarakat untuk menerima atas uangnya sendiri yang telah dimanage dalam pemerintahan.
Contoh fakta di atas adalah kedatangan Mentri Sosial, Bachtiar Chamsah pada acara Khaul dan Peringatan diangkatnya KH. Ahmad Rifa'i sebagai Pahlawan Nasional, pada 28 Oktober 2009 yang bertempat di Paesan Tengah Kedungwuni Pekalongan. Masyarakat sangat antusias untuk menyambut kedatangan Menteri, bahkan mereka mau mengorbankan apapun demi terselenggaranya acara yang akan di datangi Menteri ini. Jalan, kebun, tampak bersih, mulai berminggu-minggu sebelum acara dilaksanakan. Pengorbanan materi, tenaga yang banyak dari masyarakat.
Selain penulis memahami bahwa apa yang terjadi di atas sebagai pembebalan masyarakat oleh otoritas kuasa, untuk tetap melestarikan mental feodalisme, juga dapat dilihat dari sisi perbuatan masyarakat sebagai tindakan terpuji, karena masyarakat bisa menghormat tamu dengan setulus-tulusnya dan semulya-mulyanya. Apalagi yang datang adalah Ulil Amri (orang yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola urusan negara). Itulah ekspresi cinta rakyat kepada pemerintahnya. Setiap pemerintah, entah yang bersih atau yang kotor selalu dipandang dengan pandangan khusnudzan (baik sangka), dan dibelai dengan belaian cinta oleh masyarakat. Sehingga kapanpun makhluk bernama Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati sampai Camat yang menyambangi masyarakat Indonesia, akan mendapat sambutan yang ngewongke. Ibarat kekasih lama yang ujug-ujug datang, akan dihormati sebisa-bisanya. Pengorbanan besar dilakukan demi membayar ongkos kedatangan kekasihnya. Tidak sebatas itu, karena saking cintanya, masyarakat akan kecewa seandainya Menteri (dan yang sebangsanya) tidak jadi datang.
Kedatangan Menteri yang bertepatan dengan momen akan dilaksanakannya pemilihan umum juga menjadi ajang tebar pesona para caleg (calon legislatif). Mereka berdatangan di acara tersebut dengan gayanya masing-masing. Ada yang memakai jas almamater partai, ada yang menyungging senyum kepada setiap pengunjung (mungkin mereka menjalankan perintah Nabi: "senyummu terhadap saudaramu adalah shadaqah"), ada yang sok jadi pahlawan dengan menyebarkan sesuatu yang bukan hak dan miliknya, na'udzubillah.
Tentunya masing-masing Caleg punya niat dan motif. Mudah-mudahan kita semua tidak berpaling dari menauhidkan Allah. Segala perbuatan dan amal kebaikan menjadi bumerang celaka akherat apabila hanya untuk pamrih: agar dipilih pada hari pemilihan. Sesuatu yang mulia: Shadaqah, seringkali dikorbankan untuk tujuan duniawiyah yang fana, karena ingin dilihat dan dipilih. Mana yang abadi dan mana yang fana sudah tidak jelas, apa yang patut diperjuangkan dan apa yang diabadikan sekarang menjadi terbalik.
Wallahu a'lam
oleh : Ahmad Saifullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar